Bunga
Bank Terlalu Tinggi
SEKTOR
RIIL MULAI TERANCAM
Senin,
03/03/2014
Jakarta
– Kalangan pengamat dan akademisi menilai tingginya suku bunga perbankan saat
ini akan mengancam kegiatan sektor riil di Indonesia. Sementara kalangan
perbankan cenderung untuk mempertahankan laba tinggi melalui target net
interest margin (NIM) rata-rata di atas 5%. Angka NIM ini tertinggi di antara
perbankan di kawasan Asia.
NERACA
Berdasarkan
data suku bunga dasar kredit (SBDK) di 15 bank besar periode Desember 2013
hingga Februari 2014, terungkap kisaran kenaikan suku bunga kredit bank pada
semua segmen di kisaran 23 basis poin (bps) hingga 306 bps.
Jika
dirinci lebih lanjut, kisaran kenaikan bunga kredit korporasi sekitar 24-200
bps, kredit ritel sekitar 25-300 bps, kredit konsumsi non KPR di kisaran 24-200
bps dan kredit KPR meningkat sekitar 24-200 bps.
Di
barisan bank besar seperti Bank Mandiri menaikkan bunga rata2 25-50 bps, BCA
juga naik kredit non KPR hingga 100 bps dan BNI untk kredit konsumsi naik 100
bps.
Kenaikan
suku bunga perbankan ini diakui oleh Direktur Eksekutif Kepala Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung. “BUKU 1 menaikkan
lebih tinggi bunga dana, BUKU 1 dan 2 menaikkan juga tapi tak setinggi BUKU 4,”
ujarnya belum lama ini.
Bank
Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 adalah bank yang memiliki modal inti antara Rp 100
miliar hingga Rp 1 triliun, BUKU 2 memiliki modal inti antara Rp 1 triliun
hingga Rp 5 triliun, BUKU 3 mempunyai modal Rp 5 triliun- Rp 30 triliun dan
BUKU 4 adalah kelompok bank yang bermodal di atas Rp 30 triliun.
Menurut
guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Prof Dr Ahmad Erani Yustika, masalah
tingginya suku bunga kredit di Indonesia, tercipta karena pengaruh tingginya
suku bunga acuan (BI Rate) yang ditetapkan oleh bank sentral.
"Langkah
BI menaikkan BI Rate secara besar dalam jangka waktu yang begitu dekat
merupakan langkah yang terlalu tergesa-gesa,” ujarnya saat dihubungi Neraca,
akhir pekan lalu.
Menurut
Erani, langkah BI itu akan berimbas panjang. Salah satu yang akan bakal
dirasakan masyarakat adalah kenaikan suku bunga kredit seperti KPR dan kredit
kendaraan bermotor (KKB).
Lebih
lanjut Erani mengatakan BI Rate yang selalu di atas inflasi mengakibatkan
deposito lebih tinggi. "Suku bunga kredit jadi lebih tinggi lagi. Saat ini
suku bunga acuan berada di level 6 %. Target inflasi sendiri 4,5 plus-minus 1%
. Bank Indonesia berharap dengan tingkat suku bunga acuan tersebut suku bunga
dasar kredit berada di kisaran 10 %.
Untuk
itu, Erani mendukung rencana Bank Indonesia meningkatkan efisiensi perbankan
melalui larangan pemberian hadiah atau bonus kepada nasabah. Tapi dia menilai
rencana tersebut tak akan berjalan jika bentuknya sekadar saran.
Dia
menuturkan inefisiensi bank BUMN masih tinggi. "Biaya operasional pendapatan
operasional (BOPO) bank persero masih di kisaran 85% . Ini perlu djadikan
perhatian oleh Bank Indonesia," kata dia.
Erani
juga setuju jika bonus bagi direksi dihentikan. Menurut dia, banyak komponen
yang bisa didorong untuk membuat bisnis bank menjadi lebih efisien. Salah
satunya adalah aturan untuk mendorong efisiensi. "Belum ada regulasi yang
wajib dipatuhi perbankan. Masih lebih banyak saran,"pungkasnya.
Kepala
Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Prof Dr
Didiek J. Rachbini menilai suku bunga acuan di Indonesia yang mencapai 7,5%
terlalu tinggi. Bahkan, ia menilai suku bunga yang tinggi tersebut dapat
mengancam sektor riil. "Otoritas moneter di negara G-20 tidak ada yang
menetapkan suku bunga setinggi Indonesia. Sampai kapan BI menaikkan terus.
Jangan sampai mengorbankan sektor riil," ujarnya.
Akibat
suku bunga yang terlalu tinggi tersebut, yang terkena imbasnya adalah sektor
riil terlebih dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Didiek menilai
dengan suku bunga sekarang, pelaku usaha domestik makin sulit bersaing.
"Nantinya kredit yang diambil para pelaku usaha kita berarti lebih tinggi
dibandingkan dengan para pelaku usaha di negara lain terutama ASEAN. ini
merupakan tentangan tersendiri," kata nya.
Dia
juga menyatakan bahwa selain efisiensi pada perbankan, biang kerok dari
permasalahan perbankan berasal dari luar perbankan itu sendiri, seperti
inflasi, neraca jasa tekor, neraca perbankan juga merosot dan masih banyak
lagi. Ditambah pada sektor riil yang tidak ekonomis semakin memperburuk kondisi
perbankan. "Sektor riil kita tidak ekonomis, tetapi pemerintah tidak juga
kunjung membenahi. Hampir setengah lusin defisit APBN, defisit perdagangan,
defisit neraca pembayaran, dan defisit dengan negara lain," ungkap dia.
Laba
Tinggi
Lebih
jauh lagi, Didik mengatakan bahwa di kalangan perbankan sendiri terungkap
tingginya suku bunga tidak lain karena bankir sendiri menginginkan performa
laba tetap tinggi. Alasannya, ada beberapa bankir yang akan selesai masa tugasnya.
"Jadi, masuk akal jika mereka tetap mempertahankan kinerja banknya dengan
tetap menarik suku bunga tinggi sehingga dinilai pemegang saham berhasil dan
mereka pun dipertahankan lagi menjadi direksi," cetusnya.
Berdasarkan
data publikasi keuangan akhir 2013, BRI meraih laba Rp 21,6 triliun, Mandiri Rp
18,2 triliun, Danamon Rp 4 triliun dan BTN Rp 1,56 triliun. Secara keseluruhan
rata-rata bank meraih kenaikan laba 14%-17% pada akhir 2013. Sedangkan rasio
NIM rata-rata masih menunjukkan di atas 5%, yang tertinggi untuk kawasan
perbankan Asia.
Menurut
pengamat ekonomi UI Eugenia Mardanugraha, tingginya sukubunga acuan Bank
Indonesia (BI Rate) telah ikut mengerek bunga kredit perbankan di dalam negeri.
Bunga perbankan Indonesia termasuk tertinggi di ASEAN dan hal ini berarti
industri perbankan Indonesia menikmati marjin tinggi dari tingginya suku bunga
tersebut.
"Oleh
karenanya, BI harus bisa intervensi kebijakan tersebut dimana sektor kredit
perbankan bisa memudahkan para pengusaha dalam meningkatkan daya saingnya untuk
menghadapi pasar bebas nanti," kata dia.
Menurut
dia, dengan melihat perbankan yang berlomba-lomba dalam memberikan suku bunga
yang tinggi maka diperlukan peningkatan pengawasan dari BI maupun Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Memang sebagian besar bank terpaksa memberi bunga tinggi untuk
meningkatkan dana pihak ketiga (DPK). Tetapi, hal ini akan mendorong biaya
tinggi bagi bank tersebut.
"Kenaikan
beban dana ini akan berdampak ke bunga kredit. Bunga pinjaman terlalu tinggi
dapat memicu kenaikan rasio kredit bermasalah (non performing loan -
NPL)," ujarnya.
Eugenia
menambahkan apabila bank dalam kondisi sehat, itu tidak akan menimbulkan
masalah dalam stabilitas sistem keuangan. Akan tetapi, jika kesehatan bank
tersebut turun, ini akan berdampak sistemis.
Dia
pun menjelaskan BI sebagai regulator harus membuat suatu kebijakan yang tepat
tanpa harus mengorbankan laba bank dan beratkan debitur. Begitupula dengan bank
harus bisa mendukung dan melakukan suatu upaya atau kebijakan agar suku bunga
bank tidak terlampau tinggi dan dapat terjangkau oleh masyarakat.
Menurut
guru besar ekonomi UGM Prof Sri Adiningsih, sebenarnya bukan hal yang ideal.
Apalagi suku bunga acuan masih sebesar 7,5%. “Sebenarnya dari kebijakanBI tidak
menaikkan BI Rate tidak ada alasan bagi bank untuk menaikkan suku bunga
kreditnya.” katanya.
Namun,
kebanyakan perbankan tidak mau mengurangi keuntungannya. Meski dikatakan
berdampak kurang efisien dari sisi persaingan. “Sebenarnya bank dapat melakukan
efisiensi. Tapi karena bank-bank menginginkan keuntungan yang besar, mereka
tetap meningkatkan suku bunganya.” Ujarnya. lia/bari/iwan/mohar.
Analisis:
Suku
bunga ini merupakan rangsangan dari bank agar masyarakat mau menanamkan dananya
pada bank. Semakin tinggi suku bunga simpanan, maka masyarakat akan semakin
giat untuk menanamkan dananya pada bank, dikarenakan harapan mereka untuk
memperoleh keuntungan.
Dan
begitu sebaliknya, semakin rendah suku bunga simpanan, maka minat masyarakat
(atau investor) dalam menabung akan berkurang sebab masyarakat berpandangan
tingkat keuntungan yang akan mereka peroleh dimasa yang akan datang dari bunga
adalah sangat kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar